RSS

Episode Milik Yashmin

Dimulai dari sebuah akhir

Sore ini indah sekali tak ada hujan, warna jingga senja membias keseluruh kota kita. Sore ini bumi ceria sekali meskipun ada satu orang dalam keluargaku yang menghilang, bukan menghilang tepatnya kembali pada sang pemilik jagat. Sedih? Tentu saja!. Siapapun akan sedih di tinggal pergi oleh orang ini, aku, ibu, eyang , kakek semuanya. Hanya saja dia pernah bilang padaku bahwa aku akan mendapat reward dari Nya jika aku ikhlas menjalani peran darinya. Aku yakin sekali pada kalimat yang di ucapkannya. Kau tahu kawan dia tak pernah berbohong. Tapi ternyata mengikhlaskan kepergiannya tidak mudah, sangat tidak mudah.

Lihat saja wanita itu… wanita cantik berambut panjang yang selalu tersenyum indah seperti mentari senja. Sekarang ia begitu murung, wajahnya menahan tangis mati-matian sejak tadi pagi. Aku mengerti sekali Bintang ayahku yang di kebumikan tadi siang adalah kepingan hati lain yang dimiliki wanita ini. Aku kasihan padanya dua kali ia menikah dua kali pula ia di tinggal mati suami-suaminya, yang pertama ayahku dan yang kedua ayah Bintang.

Namaku Yashmin, panggil saja aku Yash, mungkin mulai detik ini aku akan sibuk mengetik kisah hidup lelaki ini. Sebelum ia meninggal ia menitipkan ratusan lembar kertas dan puluhan CD miliknya. Aku di ijinkan untuk melihat semuanya, aku orang pertama yang tahu kalau dia menyimpan seribu cemburu untuk ibuku. Aku yang mengetahuinya pertama kali kalau dia memiliki liku hidup yang sungguh tak mudah untuk dijalani. Maka dengarkanlah ceritaku tentang dia kawan… masuklah dalam imajinasi ini. Jika mungkin nanti ibu menceritakan pria ini dari sudut pandang wanitanya. Maka aku akan membeberkan kisah tentang laki-laki ini. Akan aku beritahukan seluruh perasaan yang di simpan lelaki ini untuk ibuku. Sungguh ia tak pernah berhenti mencintai ibuku tidak puluhan tahun yang lalu pun.

Jika kau tetangga kami pasti kalian mengenal seorang pria yang selalu berpakaian rapi, murah senyum dan memiliki cahaya mata yang indah seperti bintang, ia yang sering duduk-duduk di beranda rumah kami. Ia pria yang sering menyapa kalian dengan senyum termanis miliknya. Mungkin sebenarnya aku tak perlu membeberkan kisah ini, kalian pun tak pernah merasa perlu membaca dongeng picisan yang kalian anggap penuh dengan fiksi. Hanya saja kau merasa harus memberitahu pada kalian, di saat Bumi menyimpan jutaan manusia pongan yang merasa super dalam segala hal ia masih menyimpan beberapa orang yang masih peduli akan kesulitan hidup, ya walaupun mungkin hanya satu dinatara satu juta orang, kita yang bisa merubah perbandingan itu menjadi lebih banyak.

Sekarang jika kalian merasa senang dengan pembukaanku maka ikutilah alur yang akan aku beberkan. Tapi jika kalian merasa harus berhenti membaca kisah ini berhentilah segera, tentu masih ada berkas-berkas pekerjaan kantor yang harus kalian selesaikan. Maka tak ada gunanya membaca kisah ini.

Aku akan memulai kisahku, simaklah segalanya adalah flashback tulisan paling tua milik Ayah tersayangku ini, tentu saja aku akan menceritakan dengan bahasaku sendiri.

 

Pertemuan Pertama

Gadis yang pertama kali menjadi fokus dari rotasi hidupku namanya Jingga Mentari, pertama kali bertemu di club pena. Club yang paling sepi anggota hanya ada aku dan Angga serta Bu Mawar sebagai penanggung jawab klub ini. Tentu saja saat itu murid-murid lebih suka bergabung di klub yang mendongkrak ketenaran seperti basket, atau klub yang di pandang keren seperti sepak bola. Tapi aku tak perlu dua hal itu. Aku lebih suka sibuk dengan buku, berteman ketenangan dan mencurahkan seluruh ideku dengan memencet-mencet keybord PC.

Angga?, aku rasa ia tak begitu tertarik dengan klub ini, tapi karena disini ada pekerjaan sebagai illustrator maka ia pun berminat. Jika aku lebih suka menggambar dengan kata-kata maka Angga shabatku ini lebih suka menuangkan seluruh idenya dengan menggambar sketsa atau membuat karikatur.

Aku dan Angga ini sudah dekat sekali dari kecil, kami sekolah di TK yang sama, SD yang sama, pada akhirnya akulah yang selalu tergantung pada Angga dan ayahnya. Ayah dan ibuku meninggal ketika aku masih terlalu muda untuk menapaki hidup ini sendiri. Sedang Angga juga sekarang hanya bersama ayahnya ibunya terkena kanker rahim dan meninggal. Maka aku menyayangi anak orang yang telah berjasa dalam hidupku. Ayah angkatku, kami tinggal bersebelahan, bagiku memberi segala hal yang membahagiakan untuk Angga adalah sebagai bentuk balas budi yang harus kulakukan, walaupun sebenarnya mereka tak pernah meminta.

“Selamat siang” kali itu aku sibuk sendiri di kantor redaksi Pena, aku hanya mendengar suara sapaan itu samar. Maka untuk meyakinkan aku beranjak dari kursi dan memeriksanya.

Itulah pertama kali aku melihat gadis dengan senyum lembut itu, itu Jingga…

“Maaf kak! Saya anggota baru di klub ini. Perkenalkan nama saya Jingga” ucapnya. aku tersenyum kemudian mengulurkan tanganku. “Aku Bintang, aku wakil ketua di klub ini, silahkan duduk Jingga, nggak usah terlalu formal. Kita santai saja.” Ucapku. Ia pun meraih satu kursi dan duduk diatasnya. “Kau masih kelas satu?” tanyaku. Ia menangguk. “Maaf, baru hari ini aku melihatmu. Kemarin waktu  ospek murid baru aku bukan panitia. Jadi aku tak pernah melihatmu.” Terangku. Ia hanya tersenyum.

“Oh Iya Jingga Klub Pena ini memang sedikit anggotanya. Jadi aku harap kau tidak terbebani dengan tugas mu nanti, kita hanya bertiga saja. Dan semua pekerjaan hanya kita bertiga yang mengerjakan.” Katakuu lagi. Sekali lagi Ia tersenyum.  Kalia tahu… itu pertama kali nya aku merasa melihat senyum indah milik wanita selain ibuku. Kehadiran gadis ini merubah total laju hidupku yang sebelumnya tenang.

Aku kira perasaan yang kupupuk ini akan tumbuh dan dan berbunga di musimnya, sejak saat itu kami bertiga sering sekali bersama di kantor redaksi. Aku, Angga dan Jingga. Kita merupakan kesatuan dalam tubuh Pena yang megap-megap kekurangan Anggota. Tapi cukup hadirnya Jingga yang kadang cengeng tapi enerjik ini memberi oksigen semangat hingga kita terhidar dari rasa pesimis akan nasib Club pena yang miskin anggota.

Banyak sekali kesamaan antara kita bertiga kita sama-sama Yatim dari kecil, sama-sama anak pengusaha. Dan kesamaan antara aku dan Angga yang sama sekali tak kuduga. Kita berdua sama-sama ‘menyukai Jingga’.

Pada semester awal kelas tiga SMP kami masih bisa aktif di club pena bersama-sama, tapi semester selanjutnya aku dan Angga harus vakum, ujian didepan mata. Seiring dengan berjalan nya waktu Pena tak lagi sepi ada tujuh anggota dan tentu saja bu Mawar dan Jingga yang mengisi club ini.

Hilangnya Sebuah Kesempatan

Dulu aku selalu percaya bahwa Allah memberi banyak kesempatan pada kita selama kita hidup didunia, kesempatan untuk berbuat baik, kesempatan mengecap kebahagiaan, kesempatan jatuh cinta. Hanya saja kesempatan itu di berikan sesuai kadar kita masing-masing. Sesuai kebutuhan. Tapi malam itu aku merasa satu kesempatan dalam episode hidupku terenggut, aku menyalahkan diriku sendiri akan hal itu. Tapi apa mau dikata itulah yang namanya takdir.

Malam itu malam perpisah SMP aku dan Angga, selesai acara Angga menarik tangan Jingga membawanya kesebuah taman dan dengan alasan apa Jingga menatapku seperti memohon aku harus ikut bersama mereka. Akupun mengikuti mereka. Itu malam yang akan menghadirkan malam-malam dengan mimpi-mimpi gelisah berikutnya.

“Mau kau jadi kekasihku Jingga?, Selamanya…” kata Angga. Itu satu kalimat, hanya satu dan cukup membuat bumi yang kupijak seperti berhenti berputar. Satu kalimat yang membuat aku merasakan kehilangan seluruh kesempatan.

Entah apa yang dipikirkan gadis itu matanya menatapku begitu lugu seolah meminta persetujan padaku. ‘Aku bukan ayahmu’ rasanya ingin sekali aku meneriakkan hal itu. Tapi siapa yang tega? gadis dengan mata dan pancaran indah seperti senja itu sungguh tak pernah bicara kasar. Aku tak tega, dan kupikir ia akan bahagia jika ia menjawab kalimat Angga dengan persetujuan. Dan kalian tahu apa yang ku katakan? Sungguh aku tak percaya pada diriku sendiri ketika aku mengatakan hal itu.

“Jangan ragu Jingga, Angga orang baik. Mungkin dia masih kecil sekarang, tapi aku yakin ia tak main-main dengan kalimatnya.” Kataku berusaha meyakinkannya. Jingga tetap diam tapi anggukan pelan kepalanya cukup menjadi jawaban. Anggukan sekilas itu cukup membuat duniaku gelap dan dunia Angga terang seketika. Semuanya berakhir di malam terakhir SMPku.

Biarkan hanya aku yang mencintainya

Cinta memang bukan rangkaian rumus matematika, jika dalam rumus matematika satu plus satu hasilnya pasti dua, dalam cinta dekat plus dekat bukan berarti CINTA. Rasanya aku mulai paham akan hal itu. Maka mulai detik ini biarkan hanya aku saja yang mencintai gadis ini. Dia tidak perlu sedikitpun mencintaiku. Itu satu hal yang selalu ku tanamkan dalam hati. Aku selalu berusaha mencari banyak kesibukan untuk melupakan rasa yang tak berlogika ini. Terlebih lelaki yang menjadi pujaannya adalah Angga sahabat baikku, dan aku tahu dalam waktu dekat hubungan mereka pasti akan berubah. Angga bukan tipe orang yang suka bermain-main, ia serius dalam urusan ini. Jadilah aku harus menjauh-sejauh-jauhnya.

“Kau bisa menemaniku?” Tanya Angga suatu malam ketika kita sedang asyik duduk diatas atap rumah sambil memandangi Bintang.

“untuk apa?” tanyaku.

Ia tersenyum begitu lebar. Akupun mengikuti…

“Minggu depan Jingga wisuda. Setelah pulang wisuda aku dan ayah akan menemui ayahnya. Aku akan melamarnya. Kau bisa menemani kami?” ternyata yang membuat Angga tersenyum lebar justru membuat hatiku terpukul.

“Ayolah kawan! Kau tau bukan, sedekat apapun aku dan Jingga aku paling nervous lihat wajah dia.” Katanya jujur.

“Aku hanya akan mengganggu kalian disana nanti.” Kataku

“Bintang, ayolah kau bukan orang lain dikeluargaku. Kau anak ayah juga.” jelas Angga lagi. Kali ini aku memandang wajah melas penuh harapnya. Dan aku pun melakukan kebodohan untuk yang kesekian kalinya: aku mengangguk.

 

Tinggalkan komentar