RSS

Tentang Profesi Kami! (Curahan Hati)

Sebelumnya maaf jika kali ini saya hanya mengutarakan sebuah unek-unek yang bikin eneg hanya dari kaca mata pribadi saya. Kali ini benar-benar murni perasaan saya.

Pahit getir jadi tenaga medis, rasanya benar-benar nano-nano apalagi yang masih junior dan bau kencur seperti saya. Ada suka dan duka, walaupun kadang sekali lebih banyak dukanya. Ketika saya masih siswa saya paling suka jika ditempatkan di rumah sakit, karena jam kerjanya hanya tujuh jam selebihnya pikiran bisa tenang. Dan lagi di rumah sakit tidak harus tinggal dengan instruktur pembimbimng kita dilapangan ketika jam kerja kita usai. Berbeda jika mendapat di BPM atau BPS jam kerja kita 24 jam karena kemungkinan digedor malam-malam sangat mungkin sekali. Di BPM  kesiagaan dituntut siaga penuh, ya memang pasien yang kita tangani bukan pasien yang bikin jantung kita loncat!, jadi meskipun kita harus siaga, kita tetap bisa tenang. Dan lagi kadang-kadang kalau kita di BPS, pemilik BPS sabar membimbing, senang lagi kita diperbolehkan untuk turun tangan, bisa nggak bisa. Mungkin sedikit ketidak nyamanan di BPM karena kita tinggal satu rumah, dan satu atap dengan pembimbing maka ada rasa ‘pekewoh’ kalau kata orang jawa, atau rikuh.

Sementara di Rumah sakit, jangan disangka jika praktikan itu bergelar mahasiswa ‘kebidanan’, siap-siap jadi bulan-bulanan senior. Di perintah kesana-kemari, seolah energy kita bisa dicharger sewaktu-waktu pakai listrik. Belum lagi perasaan kita yang terkorbankan karena kita sering kena ‘caplok’ senior, mungkin kalau kita nggak kuat bisa saja sakit jantung pulang praktik, benar-benar mengenaskan. Saya nggak tahu di rumah sakit nampak sekali ‘watak membeda-bedakan’ antara mahasiswi kebidanan, keperawatan dibanding dengan CoAs. Saya nggak ngerti apa mungkin karena tampang kami mahasiswi lebih nggak cute dibanding CoAs yang notebene calon dokter. Atau mungkin karena kami yang terlihat terlalu minder (gimana nggak, baru mulai aja udah kena semprot). Tapi ada sedikit hiburan disana, yaitu ketika  kita melawati kamar-kamar bangsal untuk pemeriksaan TTV dan pemasukan obat secara rutin, justru dikamar-kamar itu kami temukan wajah tersenyum penuh terimakasih dari pasien dan keluarga, tapi perlu digaris bawahi, selama saya praktik senyum seperti itu hanya tersuguh dibangsal kelas tiga atau dua, kelas satu (bagi rumah sakit yang memiliki ruang VIP dan VVIP).

Saya juga paling malas jika harus menengok kamar berkelas seperti VIP, entah karena saya yang terlalu sensitive atau apa. Tapi dibenak saya selalu bertanya kenapa orang ber-uang itu selalu merasa bisa membeli segala sesuatu.

3 tahun saya jadi siswa, dua kali praktik di rumah sakit, dua kali praktik di BPM. Yang di BPM sih semua OK (walaupun salah satunya bikin saya mual kalau lihat sayur tempe), yang dirumah sakit OK juga tapi hanya satu yang satu rumah sakit lagi benar-benar  makan hati. Di salah satu rumah sakit yang saya tempati ini *yang membuat saya makan hati* saya menemukan bagaimana perbedaan kelas social membedakan keramahan tenaga medisnya, disinilah saya temukan bagaimana uang itu sangat berkuasa. Lupakan harga obat yang memang disuplai oleh negara. Karena seharusnya hanya itu yang membuat berbeda. Maka saya membenarkan bagaimana keluhan orang soal ketidak ramahan tenaga medisnya kepada pasien kelas III.

Sekarang saya bukan lagi siswa, tapi ditempat ini saya tetaplah masih junior dan lagi saya tenaga magang, kali ini saya memandang dari segi perasaan saya sendiri bagaimana saya ikut terlibat didalamnya. Saya rasa tempat ini nyaman untuk saya, disini saya belajar bagaimana menjadi tenaga medis dengan pelayanan terbaik yang menjadi strategi marketing. Saya akui disini semua pasien harus membayar biaya pelayanan dan jasanya. Yang menurut saya masih tergolong murah. Senior saya nggak lupa senyum sama pasien, bilang “silahkan” setiap menyambut pasien pun yang baru sampai didepan pintu, dan lagi kami menggunakan prosedur klinik yang sesuai dengan protap. Salam, senyum, sapa, selalu kami praktekkan. Ketika memberi konseling pada pasien soal kehamilan atau yang lainnya tak lupa kami melakukan kontak mata. Dan lagi tidak ada pemaksaan terhadap pasien bahwa mereka yang periksa kehamilan di tempat ini wajib bersalin ditempat ini. Kami selalu memberi option, membiarkan pasien memilih dan menghormati pilihan mereka.

Bagi kami pasien adalah raja!

Tapi, rasanya perih sekali untuk mengutarakan kepada pasien bahwa kami juga bukan budak. Tidak jarang pasien mengeluh soal keramahan kita yang kurang. Bagiku, jika memang ada pelayanan yang kurang silahkan mengutarakan di kertas kuesioner yang selalu kami sediakan.

Mungkin jika anda pasien ada yang berteriak “kami membayar, kami harus mendapatkan pelayanan sesuai dengan biaya yang kami keluarkan”. Dulu waktu saya jadi pasien saya juga pernah berkata seperti itu. Tapi sekarang saya rasakan bagaimana rasanya menjadi pihak yang diteriaki. Menyakitkan sekali. Bagaimanapun kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberi pelayanan seprofesional mungkin. Jika ada yang kurang, layakkah kami diteriaki seperti budak didepan banyak orang?, kami juga punya harga diri. Diluar sana ketika kami tak lagi ada diklinik kami juga manusia merdeka.

Kita sama-sama membutuhkan, pasien mumbutuhkan pelayanan dan tenaga medis mendapat penghasilan dari situ. Tapi sungguh mendapat kan penghasilan dari hasil diteriaki itu menyakitkan, sangat menyakitkan. Kami punya prosedur yang harus kami patuhi sebagai tenaga medis, jika pasien menuntut sesuatu yang justru melanggar kode etik kami sebagai tenaga medis, tidak harus dituruti bukan?.

Zaman perbudakan sudah usai ratusan tahun yang lalu. Profesi ini hanya sekedar barter, ya hanya barter. Jangan menyalah artikan bahwa kita sama dengan budak yang boleh di teriaki, dicaci maki seenak perut.  Bingung juga saya harus mengutarakan unek-unek ini pada siapa. Yang penting untukku, aku lega!. Aku tahu memang ada sebagian tenaga medis yang ‘buas’ sekali. Tapi jangan menyamaratakan semua seperti itu. Jangan menumpahkan semua amarah pada setiap tenaga medis. Seperti kami juga tidak menganggap semua pasien ‘menyebalkan’. Jika itu hanya karena pasien membayar dan kami yang dibayar. Please! Yang dibayar jasa yang kami lakukan, skill yang kami lakukan, bukan harga diri kita.

Kita butuh kerja sama, kerja sama yang solid, sama-sama mematuhi peraturan, suatu misal jika anda pasien dan saya tenaga medis yang bertanggung jawab merawat anda selama opname karena infeksi labung. Ketika dokter memberi pantangan, jangan makan yang pedes atau terlalu asem, makan bubur dulu jangan makan nasi, maka anda pun harus mematuhi peraturan tersebut ada atau tidak ada dokter atau perawat. Karena kami tidak menjaga anda 24 jam, jika sewaktu-waktu anda melanggar pesan tersebut. Katakanlah anda makan pedas tanpa sepengetahuan kami. dan setelah itu sakit anda jadi tambah parah. Apa iya kami disalahkan gara-gara sakit bertambah parah, padahal anda melanggar aturan dan tidak dapat berkerjasama.

Sungguh, jika niat kami buruk hanya ingin medapat keuntungan tanpa memberi keuntungan, kami cukup membiarkan pasien lemah di bed-nya tanpa mematuhi terapi dari dokter. Menunggu sampai tagihan perawatan membengkak. Tapi kami tak melakukan itu bukan? Karena bagi kami berusaha memberi obat dan membantu proses penyembuhan (hanya Allah yang menyembuhkan) itu adalah tanggung jawab kami. Kami disumpah untuk melayani pasien tanpa membedakan status social sebelum kami berhak mendapat gelar sesuai bidang profesi kami.

Sekali lagi perbudakan usai, kita hanya ada saling membutuhkan. Karena manusia dicipta memang sebagai makhluk social yang tak bisa hidup individual secara mutlak. Manusia saling membutuhkan manusia lain, semua saling terkait, saling berhubungan. Apalagi jika kita muslim maka kita terikat oleh benang tak tampak bernama saudara seiman.

 

Tinggalkan komentar