RSS

Riyan, Tentang Cerita Cinta

Sakit, itu yang ada ketika dua nama itu terbaca oleh mataku. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Kali ini aku harus bisa mencintainya dengan penegrtian lain. Kali ini aku harus bisa melupakan rasa indah yang tumbuh selama bertahun-tahun itu. Aku harus mengenal  pengertian “cinta” yang berbeda.

***

 Riyan, segala tentangnya adalah cinta. Aku suka padanya, aku cinta dan aku sayang. Dia kakakku, lelaki ini adalah satu dari jutaan rasa cinta yang pernah di berikan tuhan padaku. Aku mencintainya. Dan setiap kali aku megatakannya aku semakin ingin memilikinya.

“Beri salam sayang, ini kakakmu.” Ucap Bunda saat itu, anak laki-laki berwajah sendu itu menatapku.

“Selamat datang kak!, aku Bintang.” Kataku sambil tersenyum semanis mungkin. Saat itu aku ingin sekali dia membalas salamku, menyebutkan namanya dan sambil tersenyum juga. Tapi aku tahu itu mustahil. Anak laki-laki di depanku ini datang kemari bukan sekedar untuk berkenalan denganku sebagaimana temanku yang lain. Ia terbang puluhan kilometer dari pulau lain membawa banyak duka. Dan aku tahu itu. Aku tahu… maka aku ingin mengembalikan senyum itu.

Ia hanya memandang tanganku yang menunggu di sambut olehnya, tanpa ekspresi, sendu. Lalu pergi begitu saja meninggalkan aku.

“Nanti Riyan pasti mau main dengan mu sayang.” Kata Ayah membesarkan hatiku.

Aku hanya mengangguk, kemudian tersenyum.

“Aku tahu Ayah, soalnya kak Riyan dulu selalu mau balas surat Bintang. Jadi mana mungkin Kak Riyan tidak mau berteman denganku?.” Kataku optimis, Ayah tersenyum padaku.

Namanya Riyan Artawijaya. Ia sahabat penaku, ia anak dari kolega Ayahku. Umurku delapan tahun saat itu. Dan dia dua belas tahun. Sudah enam bulan aku berkirim surat dengannya. Tapi baru kali ini aku melihat wajahnya secara langsung. Setiap bulan kita rajin sekali berkirim surat, ia juga tidak pernah bosan membalas suratku, walau sekedar berbasa-basi menceritakan si Rambo kucing putihnya, tapi aku antusias sekali membaca setiap paragraph dari tulisannya, selalu tersenyum membaca baris lucu yang dialaminya.

Namanya Riyan, ia kakak angkatku sekarang. Ayah dan Bunda sengaja merawatnya. Papa dan mamanya meninggal dalam kebakaran, kata Bunda ia sedang sekolah saat itu. Maka yang selamat hanya anak itu. Aku ingin mengembalikan senyumnya, itu keinginanku saat itu.

“Kak, makan dulu yuk. Ayah sama Bunda sudah nunggu di ruang makan.” Ajakku, anak itu masih dia mematung menatap lampu meja di depannya. Tak ada buku terbuka di meja itu, maka aku tahu dia sedang ‘sibuk’ melamun. Aku menghampirinya, ingin menggamit tangannya mengajaknya untuk makan.

“plakk” aku terkejut. Ia menepis tanganku. Kemudian pergi meninggalkanku. Aku tidak langsung mengikutinya, pandanganku megitari seluruh sudut kamarnya. Tembok biru dengan motif awan di sana. Sangat indah, di kamar ini selalu ada semangat pagi. Ada gambar menara pisa di salah satu sisi temboknya, ada gambar pohon dan matahari yang menyebul di antara awan. Dan di sudut lain ada lemari pakaian dengan warna gelap dan motif Bintang bewarna emas di pintunya. Semua itu aku yang memilih.

Aku suka menara pisa, suatu saat aku akan pergi ke sana. Aku juga suka suasana pagi hari di kota lampung, sangat indah ketika saat melihat matahari sembunyi di balik awan.

Oh, iya Bintang. Saat malam aku suka juga duduk di ayunan halaman rumahku sambil menatap langit ada Bintang di sana.

Itu salah satu paragraph dalam surat yang dikirim padaku. Entah surat ke berapa tapi aku selalu ingat.

“Bintang, ayo makan.” Ayah memanggil ku.

“iya, Yah.” Jawabku sambil berlari keluar kamar itu.

Di meja makan sudah duduk Bunda, Ayah dan kak Riyan. Ayah memandangku tersenyum.

“Makan yang banyak ya kak.” Ucapku, dan sekali lagi ia mengabaikanku. Dan lagi-lagi aku tersenyum.

***

“Bruukk” anak nakal itu terjatuh karena ku dorong. Ia bagun dan menarik rambutku.

“Bruukk” aku terjatuh karena dorongannya.

“Jangan ganggu kakakku!!!.” Teriakku sambil berusaha bangkit. Aku menatap sinis anak nakal itu. Amin namanya, saat bel tanda pulang sekolah berbunyi aku melihat anak nakal itu memukul  Riyan. Riyan tak membalas hanya diam. Aku berlari menyusul mereka, dan seperti saat ini akhirnya akulah yang terlibat pertengkaran itu.

“Ih… malu nya! Masak cowok di belain cewek.” Ejeknya sambil menatap Riyan menghina. Riyan hanya diam saja, tak menggubris.

“Jangan di hina. Dasar anak nakal!” teriakku, kemudian memukul punggungnya. Anak nakal itu berbalik,dan mendorongku hingga aku jatuh terjengkang, aku meringis kesakitan.

“Nggak seru berantem sama banci.” Ucap anak nakal itu. Kemudian pergi meninggalkan kami berdua.

“Ayo bangun!.” Riyan memberikan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menyambut tangan itu.

Kami pulang ke rumah bersama. Riyan berjalan didepanku. Sementara aku berjalan di belakangnya terseok menahan perih di lutut.

“Kalau tahu, Om sama Tante, pasti di marahin. Kamu kan nggak pernah berantem.” Ucapnya sambil terus berjalan. Saat itu urusan itu begitu sederhana untukku. Aku hanya ingin melindungi Riyan, hanya itu. Aku tak peduli kalau toh nanti Ayah dan Bunda akan marah padaku.

Perih dilututku memperlambat jalanku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berjalan, tapi nihil. Aku berusaha untuk tidak menangis, tapi sia-sia.

“hiks…hiks….hiks” Langkahku terhenti terduduk di tengah jalan, terisak menahan perih sambil memegang lututku, padahal jarak dengan rumah hanya tinggal beberapa meter saja. Riyan yang tadi berjalan didepanku, berhenti dan menghampiriku. Ia jongkok didepanku, mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku minta maaf, harusnya kamu nggak usah berantem kayak tadi.” Katanya sambil memasangkan plester di luka pada lututku. “Jangan nangis lagi!.” Katanya, lalu menghapus air mataku dengan tangannya. “Maaf, Kak!.”Ucapku lemah. Riyan membantuku berdiri dan membimbimgku untuk berjalan. Saat itu aku senang setidaknya setelah satu bulan dia tak mau bicara denganku, akhirnya ia mau membuka mulutnya untukku. Aku merasa ada harapan untuk menjadi temannya. Eh, atau lebih dekat dari itu ‘kakak’. Saat itu hanya sebatas itu. Aku ingin Riyan dan Bintang menjadi saudara. Hanya itu.

***

“Siapa, Bin?.”

Ia menungguku di pintu gerbang sekolah, masih lengkap dengan seragam SMU nya.

“Kak Riyan, aku duluan ya, Mel.” Ucapku sambil meninggalkan Amel teman sekolahku, aku tidak menunggu anggukan darinya. Langsung pergi meninggalkannya yang penasaran.

Riyan memberikan helm padaku, aku naik keatas motor miliknya. “Langsung pulang, Kak?.” Tanyaku. Riyan menstarter motornya. “Mau kemana emangnya?.” tanyanya. “Ayah sama Bunda udah nunggu, nanti aku kena marah lagi kalau pulang telat,” lanjutnya. Umurku dua belas tahun, bulan ini tiga belas tahun. Ia berumur lima belas tahun. Sudah tiga tahun ia bersama keluargaku, dan kabar baik. Kakak ku ini akhirnya memanggil Ayah dan Bunda.

“Kak, gimana sama Julia?.” Tanyaku menyebutkan salah satu teman sekelasnya yang aku tahu suka pada Riyan. Ia masih asyik dengan Es krim di tangannya. Setiap sore pulang sekolah kami meyempatkan diri main ke taman ini, hanya menikmati satu cup es krim vanilla coklat kesukaanku, sambil duduk di ayunan taman. Taman itu hanya berjarak lima ratus meter dari komplek rumah kami.

“Julia, sehat kok.” Jawabnya cuek. “siapa juga yang bilang Julia keracunan.” Sahutku, sebal dengan jawabannya. “Kak Riyan nggak naksir dia?” tanyaku. Ia memasukkan sesendok es krim ke dalam mulutnya. “udah ada yang aku taksir” jawabnya. Aku tersenyum menggoda. “siapa tuh??” kataku. “Nanti aku kasih tahu, kalau kamu udah gede”. Katanya. Aku manyun emangnya aku masih kecil? Nggak lihat apa aku udah pakai rok biru. Semburat senja mulai menghiasi langit biru, sangat indah. Aku benar-benar menikmati saat seperti ini, ketika cup es krim ada di tangan kami, ketika hembus angin sore membelai rambut kami. Aku suka, dan entah apa yang sedang berlaku, dari kesenangan yang ada aku suka bersama orang ini. Duduk berdua menikmati senja.

***

Namanya Riyan, ia adalah cerita tentang sepotong cinta yang pernah aku miliki. Sudah terhitung banyak tahun aku menghabiskan waktu dengannya. Berperan sebagai adik kesayangannya, dan saat umurku mulai di katakan dewasa aku mulai mengenal getar lain yang timbul dalam hatiku. Tapi aku tak bisa mendefinisikan secara spesifik. Aku selalu senang  jika ada di dekatnya, aku kira rasa itu wajar, bukankah dulu juga seperti itu. Aku ikut sedih jika dia juga sedih, yang satu ini aku juga sudah biasa. Bahakan aku ikut menangis juga kalau Bunda menagis karena menonton telenovela kesukaannya. Ini di sebut empati. Tapi entah kenapa aku tidak suka ketika banyak teman kampusnya datang ke rumah. Aku kira ingin marah saat Julia bergelayut manja di lengannya. Aku tidak tahu ini kenapa, tapi itulah salah satu rasa yang tak bisa ku definisikan.

“Ngapain sih kamu ngambek begitu?. Bintang, buka pintunya. Aku beliin es krim!” teriaknya sambil mengetuk pintu kamarku.

“Siapa pula mau es krim, emang aku masih kecil!.” Teriakku.

“Bintang, aku minta maaf.” Ucapnya

“Kalau nggak ngerasa salah nggak usah minta maaf.” Ucapku.

“Iya tapi kenapa kamu marah?.”Ia terus membujukku untuk keluar dari kamar. Akhirnya aku lelah juga dengan sikap childish ku. Aku keluar kamar.

“Capek juga kan Yan, mana mungkin dia betah lama-lama di kamar.”Kata Ayah menggodaku. Aku kesal, tapi benar kata Ayah, aku tidak betah marah terlalu lama. Riyan ada didepan pintu kamarku dengan wajah penasaran. Aku mengabaikannya, beranjak menuju dapur. Riyan akan menyusulku tapi urung. Ia duduk di sebelah Ayah yang masih asyik di depan notebooknya.

“Bintang itu selalu aja begitu bikin bingung,” desisnya sambil mengambil koran di meja. Ayah hanya tersenyum samar.

“kamu juga suka begitu kok sama Bintang.” Ucap Ayah. Riyan mengerutkan keningnya heran. “Udah lama kamu tinggal dirumah ini Yan, kau udah dewasa”. Kata Ayah sambil terus menatap notebooknya.

“Riyan, semoga bisa jadi kakak yang baik untuk Bintang,” kata Ayah kali ini sambil menatap  Riyan.

“Apa mau Ayah, semoga Riyan bisa mewujudkan. Riyan bersyukur sekali ada ditengah keluarga ini. Sangat membanggakan jika Riyan bisa mewujudkan setiap harapan Ayah pada Riyan Yah!”. Ucap  Riyan tulus.

“Kau, memang anak membanggakan, Nak”. Kata Ayah

Untuk Riyan Ayah adalah sosok paling dihormati, di kagumi, semua kalimat Ayah adalah perintah mutlak untuknya. Menurutnya harus seperti itu karena ia merasa Ayahlah yang berusaha keras mengentas kehidupan masa kecilnya setelah ia kehilangan orang tua kandungnya. Maka ia bertekad tak akan mengecewakan Ayah sedikitpun. Begitu juga dengan Bunda, ia juga tidak ingin mengecewakan Bunda.

Bagi Riyan mungkin aku adalah adik, putri tunggal dari orang yang sangat ia hormati. Ia melindungiku, tidak membiarkanku dalam kesulitan sendiri, selalu menyenangkanku. Tapi mungkin berbeda untukku. Bagi aku Riyan adalah sebuah cerita karena lelaki inilah aku pernah cemburu, karena dialah dulu aku pernah bertengkar, karena dia pula dulu aku selalu berusaha tersenyum untuk mengembalikan senyumnya yang sempat hilang. Awalnya aku pikir urusan ini begitu sederhana, tapi ternyata tidak, aku mulai sadar semakin aku dewasa aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Semakin aku dewasa aku sadar bahwa aku mencintainya.

***

Terkejut, itu yang mungkin Ayah rasakan ketika mendengar pernyataannya tiba-tiba di meja makan kami.

“Maaf Ayah, tapi kali ini saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri.” Ucapnya. Ayah dan Bunda memandangi kami bergantian.

“Aku juga menyukainya Ayah” kataku. Ayah semakin terkejut. Aku tahu di mata itu ada rasa tak suka. Di mata itu ada penolakan besar, dan itu yang aku takutkan.

“Maafkan Ayah, Bintang!.” Suara itu tercekat semua hening saat itu juga.

“Ayah, mengajak Riyan ada disini untuk menjadi kakakmu, Nak. Dan tidak lebih dari itu, tidak boleh Riyan. Kau tidak boleh melamar Bintang.” Titik, ya.. kalimat itu berhenti Riyan yang ku kenal selama ini tak akan mengecewakan Ayah, aku belum siap dengan semua itu.

“Aku mencintainya, Yah.” Ucapku lirih menahan sesak. Riyan di sampingku hanya terdiam, beku dan membisu.

“Kau bisa belajar mencintai yang lain, sayang.” Kemudian pergi beranjak dari tempat duduknya.

“Ayah, tidak kah kita perlu membicarakan ini lebih baik lagi?.” Bunda berusaha menahan Ayah.

“Aku kira, ini sudah jalan terbaik. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi kan”. Keputusan final, ya itu yang kami berdua dapat. Pada akhirnya kami harus menjauh satu sama lain. Aku benar-benar tak menduga keputusan Ayah kali ini.

“Kalian berdua tahu artinya ini kan?.” Bunda membuka pertanyaan. Aku tak menanggapi aku bahkan tak mau tahu.

“Iya, Bunda. Saya mengerti!.” Kata Riyan aku menoleh terkejut kepadanya. Apa yang ia mengerti. Apakah Riyan rela begitu saja melepas rasa itu?. Apa ia akan menjauh?.

“Kalian bicarakan berdua?.” Kata Bunda.

***

Tiga tahun kemudian

Riyan, ia sepenggal cerita cinta yang ku miliki, tapi sayang sejak tiga tahun lalu ternyata semua tak bisa berjalan mulus sesuai rencana kami. saat itu kami bermimpi akan menajdi sepasang kekasih, Ayah dan Bunda mendukung hubungan kami. Ah…ternyata malam itu juga aku harus bangun dari mimpi indah. Ayah menolak, dan Riyan… baginya restu Ayah adalah segalanya. Mungkin saat itu ia bisa menghapus habis cintanya yang tersembunyi, sementara aku? Hatiku sakit, tercabik oleh perasaanku sendiri.

“Sulitkah jika melihat aku?. Apa aku harus menghilang?. Apa aku harus pergi?”. Itu malam terakhir.pertanyaan terakhir. Dan tangis terakhirku didepan Riyan. Setelah itu ia pergi. Ia tak mengatakan apa-apa. Hanya sepucuk surat yang menjanjikan akan menemuiku saat ia benar-benar bisa menjadikan aku sebagai adik bukan yang lain.

Hari ini undangan itu datang undangan bewarna biru dengan dua nama yang terukir indah di depannya. Riyan dan Dewi. Ah… entahlah wanita seperti apa yang di temukan Riyan di negri rantau tersebut. Beruntung sekali dia bisa mendapatkan separuh hati yang pernah sempat kumiliki.

“Ikutlah, sayang! Ia kakak mu!.” Kata Ayah. Aku tak menjawab. Tapi aku sadar kali itu. Se berapa besar aku mencintainya. Wanita bernama Dewi itu pasti di cintai pula oleh Riyan. Dan ini memang sudah saatnya aku berubah, menerima kenyataan bahwa tetap adiknya. Dan itu tak akan berubah.

Tuhan, malam ini saja aku mohon, Ringankan perasaanku untuk esok!

***

Mata itu yang tak pernah kulupa, ya… pandangan tajam yang selalu aku rindukan. Ia sangat tampan dengan pakaian serba putihnya. Di sampingnya berdiri seorang gadis muda dengan kebaya putih tersenyum kepada kami.

“Kau Bintang?.” Tanya gadis itu kepadaku. Aku hanya mengangguk, ia menjabat tanganku erat, lalu mendekatkan bibirnya pada telingaku. Membisikkan sesuatu.

“Bisa kau terima aku jadi iparmu?.” Tanyanya lembut. Aku memberikan senyum padanya. Kemudian mengangguk.

Kemudian aku berdiri didepan pria itu, menjabat tangannya, tanpa melihat matanya, jujur kali ini aku sesak. “masih sulitkah melihatku, Bintang?” tanyanya. Aku tak menjawab, hanya bungkam. “masih sulitkah?” katanya sekali lagi.

“Kak Dewi, boleh aku memeluk suamimu sebentar? Hanya lima menit, lima menit saja.” Pinta ku. gadis cantik di depanku mengangguk. “dia kakakmu, Bintang” katanya.

Aku langsung memeluknya. “sudah bisakah aku jadi kakakmu?” tanya Riyan.

“selalu kak, dari dulu kau adalah kakak terhebat, terganteng, tersayangku, dan selamanya akan seperti itu.” Ucapku.

Aku melepas pelukanku. Menyuguhkan senyum terindah yang pernah kumiliki. “selamat menempuh hidup baru kak Riyan” ucapku. Dua mempelai itu tersenyum kepadaku.

Aku membalas senyum itu. Begini mungkin semua akan menjadi lebih baik.

 

Tinggalkan komentar